AGEN BETTING BOLA - BANDAR KASINO ONLINE - TARUHAN BOLA - BETTING ONLINE - BETTING BOLA WWW.PELANGIBOLA.COM

Header Ads


Final Liga Champions: Alan Kennedy dan Lahirnya Sebuah Kultus


Legenda Liverpool, Alan Kennedy. (Foto: Twitter/@Steven94n)
Di balik kemegahannya, final European Cup tak jarang harus berurusan dengan inkompetensi. Tragedi Heysel pada 1985 silam sebetulnya bisa saja diihindari seandainya UEFA tidak memilih untuk menjadikan Heysel sebagai tempat final digelar. Atau, pada 1981, ketika Liverpool dan Real Madrid bertemu di Parc des Princes, kedua kesebelasan semestinya tak perlu khawatir soal rumput apabila pengelola stadion lebih becus dalam bekerja.
"Sejujurnya, mengerikan sekali. Rumputnya sama sekali tidak dipotong. Selain itu, ada banyak benjolan juga. Itulah yang kami khawatirkan saat itu," kenang Alan Kennedy dalam wawancara eksklusif dengan Daily Mail.
Kennedy, pada pertandingan final European Cup 1981 itu, lahir sebagai pahlawan Liverpool yang dikultuskan. Pada pertandingan yang membuat orang-orang ingin segera beranjak dari tempat duduk itu, Kennedy keluar sebagai pemecah kebuntuan. Sembilan menit jelang peluit panjang, ketika harapan akan terciptanya gol mulai hilang dari angan-angan, Kennedy datang memberi katarsis.
Tidak ada pertalian darah apa pun antara Alan dan Ray Kennedy. Akan tetapi, dua orang ini tak ubahnya saudara sekandung. Sama-sama bermain di sayap kiri Liverpool, dua Kennedy ini bekerja bersama secara telepatis. Dan telepati itulah yang bekerja ketika Ray Kennedy melakukan lemparan ke dalam penentuan itu.
Ada banyak hal yang bekerja dalam sepak bola. Teknik, taktik, mental, dan semua tetek bengek lain yang bisa ditemukan di dalam buku teks. Namun, ketika ia sudah dipentaskan di atas lapangan, semua teori itu ada baiknya dipersetankan saja. Bagi Alan Kennedy, sepak bola adalah soal takdir.
Dari belakang, Kennedy berlari kecil. Yang ada dalam benaknya kala itu adalah bagaimana caranya bisa membantu tim dalam situasi lemparan ke dalam tadi. Sebelum ini, Kennedy sudah berusaha menjadi pengubah keadaan lewat sebuah tembakan kencang dari kotak penalti. Kennedy Tester, kata orang-orang, nama tembakan khas itu. Namun, kali ini situasinya berbeda.
Sembari berlari kecil, Kennedy tak menghiraukan orang-orang yang ada di lapangan. Vicente del Bosque, Terry McDermott, sampai wasit Karoly Palotai dari Hongaria semuanya dia lewati tanpa setitik pun rasa peduli. Sampai akhirnya, ketika Ray Kennedy mulai mengayunkan lengannya ke depan, daya ledak di kaki-kaki Kennedy mulai bekerja.
Sepak bola mengenal overlap dan underlap. Dalam bahasa teknis itu, Alan Kennedy melakukan underlap di area yang belakangan marak disebut half-space. Di sana, dua pemain Real Madrid berpatroli. Rafael Garcia Cortes dan Jose Antonio Camacho. Celaka bagi Cortes dan Camacho, telepati duo Kennedy itu sedang sinkron-sinkronnya.
Bola lemparan Ray Kennedy mendarat tepat di dada Alan Kennedy. Sepersekian detik kemudian, Camacho hanya bisa termangu dan Cortes harus melakukan tindakan putus asa untuk menahan laju Alan Kennedy. Cortes, dengan tumpuan yang tak lagi kokoh, mengayunkan kaki kanannya dengan gemulai ke dada Kennedy. Diperlakukan seperti itu, Kennedy lantas teringat pesan William Shankly, "Ingat! Kalau kalian sampai terjatuh, kalian lemah!"
Kennedy terus melaju. Dari dada, bola jatuh ke kaki kirinya. Gawang sudah di depan mata, tetapi ruang tembak Kennedy semakin menyempit. Agustin Rodriguez, kiper belia berumur 21 tahun itu, sudah keluar dari sarangnya. Maka, tanpa pikir panjang lagi, Kennedy pun menghajar bola dengan kaki kirinya. Habislah Real Madrid.
Selebrasi Kennedy berlangsung semarak. Setelah bola dipastikan masuk ke gawang Rodriguez, Kennedy langsung berlari ke arah para suporter Liverpool yang memadati tribune utara Parc des Princes. Dengan selebrasi khas pemain zaman baheula -- dua tangan mengepal dan diangkat tinggi-tinggi -- Kennedy membuat para suporter Liverpool berteriak, berjingkrak, dan bersorak bak kehilangan akal sehat.
Hanya satu gol tercipta di Parc des Princes hari itu dan Liverpool pun akhirnya berhak atas trofi European Cup ketiga mereka dalam lima musim. Di hari yang sulit itu, Kennedy menyelamatkan Liverpool.
Masalah rumput yang gondrong -- ataupun gundul -- bagi Liverpool kala itu memang begitu menyebalkan. Sebagai tim yang bermain dengan umpan dari kaki ke kaki -- tippy tappy kata Kennedy --, Liverpool butuh lapangan yang sempurna. Maka dari itu, ketika bermain di Parc des Princes, permainan Liverpool pun tidak optimal.
Namun, sekali lagi, sepak bola adalah soal takdir. Ketika Liverpool tidak bisa memainkan sepak bola khas mereka, tak mengherankan jika pahlawan yang muncul dari sana adalah sosok yang juga tak pernah dianggap sebagai bagian dari mereka.
Kennedy datang ke Liverpool pada usia 24 tahun di awal musim 1978/79. Biaya transfernya kala itu cukup mahal; mencapai 330 ribu poundsterling. Dengan nilai trasnsfer sekian, Kennedy pun menjadi bek kiri termahal Britania.
Keputusan Liverpool mendatangkan Kennedy ini sebetulnya cukup unik karena pada musim sebelumnya, si pemain gagal menyelamatkan klubnya, Newcastle United, dari degradasi. Akan tetapi, manajer Liverpool kala itu, Bob Paisley, memang belum puas dengan bek-bek kiri yang dia miliki. Setelah performa Alec Lindsay membusuk dimakan usia, Paisley mencoba peruntungan bersama Joey Jones.
Jones memang tidak buruk, tetapi Paisley tetap kurang puas. Pemain Wales itu terlalu sulit ditebak penampilannya. Sampai akhirnya, nama Kennedy muncul di radar dan tanpa berpikir dua kali, Paisley langsung mencomotnya.
Ketika Paisley menarik Kennedy dari Newcastle, yang sebenarnya terjadi adalah terwujudnya doa seorang ibu. Sarah Ann, ibunda Kennedy, adalah tetangga dan sahabat masa muda Paisley di Hetton-le-Hole, sebuah daerah di Sunderland sana. Menurut kesaksian Kennedy, Paisley muda seringkali berbelanja ikan di toko tempat ibu serta bibinya bekerja.
"Ibuku dan Bob kemudian jadi kenal dekat. Ibuku pun kerap menyaksikan dia berlaga di pertandingan sepak bola lokal sampai akhirnya ibuku menikah dan Bob hijrah ke Liverpool tak lama sebelum perang," kisah Kennedy kepada Liverpool Echo.
Ketika Kennedy tengah merintis karier sepak bola profesionalnya, sang ibu seringkali berkata kepadanya, "Nak, sepertinya asyik, ya, kalau kamu nanti bisa main untuk Bob Paisley."
Sayang, Sarah Ann tak sempat melihat putranya berlaga untuk sahabat masa mudanya. Hanya beberapa bulan sebelum transfer Kennedy ke Liverpool, dia meninggal dunia.
Meski merupakan anak dari sahabat masa muda Paisley, bukan berarti Kennedy bisa berbuat semaunya. Justru, Paisley memperlakukan Kennedy dengan begitu keras. Pada debutnya untuk Liverpool, Kennedy harus rela dipermalukan di ruang ganti Anfield.
Sebagai seorang pemain, Kennedy sebetulnya tidak cocok untuk Liverpool. Di tim yang sangat mengandalkan teknik, Kennedy bagaikan seekor banteng di toko keramik. Pernah, pada suatu sesi latihan pramusim, bogem mentah dari Graeme Souness mendarat di muka Kennedy karena si bek kiri kebingungan dalam mengumpan.
Namun, Paisley tetap berusaha untuk percaya pada Kennedy. Pada laga pembuka musim menghadapi Queens Park Rangers, dirinya tetap dipercaya untuk menjadi bek kiri inti. Sialnya, kepercayaan Paisley itu gagal dijawab dengan baik oleh Kennedy, setidaknya sampai 45 menit pertama.
Di ruang ganti Anfield itu, Paisley memilih untuk berbicara dengan suara pelan. Namun, dengan begitu, semua fokus justru tertuju kepada sosok yang tengah diajaknya bicara. Dalam situasi itu, Paisley berkata, "Mereka telah menembak Kennedy yang salah!"
Kennedy sebenarnya cuma demam panggung saat itu. Dia terlalu ingin membuktikan kemampuan individualnya, sampai-sampai dia lupa bahwa dia punya sepuluh rekan. Kemudian, pada babak kedua, penampilan Kennedy berubah. Dia tak lagi mencoba melakukan hal-hal spektakuler dan memainkan sepak bola sederhana; dari tempatnya di kiri, bola diarahkan ke tengah dengan umpan pendek. Sejak itu, Kennedy sulit sekali untuk digantikan.
Bermain sebagai bek kiri, Kennedy adalah sosok pekerja keras. Tekniknya biasa saja, tetapi dia adalah orang yang paling terakhir berhenti berlari di tim Liverpool saat itu. Semangat dan etos kerja inilah yang pada dasarnya membuat Kennedy mampu bertahan di Liverpool sampai delapan musim.
Pada dua musim pertamanya, Kennedy senantiasa menjadi andalan tanpa mampu digantikan pemain lain. Akan tetapi, pada musim 1980/81, momok laknat bernama cedera hampir saja menghancurkan masa-masa indahnya. Dalam sejumlah kesempatan, Avi Cohen dan Richard Money diminta oleh Paisley untuk mengisi tempat Kennedy. Beruntung, pada akhir-akhir musim, sebelum final European Cup dan Piala Liga, Kennedy pulih dan bisa bermain.
Pada pertandingan final European Cup 1981 itu, Kennedy sebetulnya tidak berada dalam kondisi 100 persen. Di lengan kirinya terdapat retakan yang dia dapat pada laga semifinal menghadapi Bayern Muenchen. Awalnya pun Kennedy diberi tahu oleh Paisley bahwa dirinya takkan bermain. Namun, kenyataan berkata lain.
Setelah menjadi pahlawan di final 1981, Kennedy juga punya andil cukup penting pada final edisi 1984. Menghadapi Roma di Olimpico, Kennedy didapuk menjadi penendang terakhir Liverpool. Lagi-lagi, ketika itu situasinya tidak ideal.
Sebelum menghadapi Roma, para pemain Liverpool melakoni uji tanding adu penalti menghadapi tim juniornya di Melwood. Hasilnya, (tim senior) Liverpool kalah. Kemudian, pada adu penalti yang sebenarnya, Steve Nicol sebagai penendang pertama gagal menaklukkan kiper Roma. Makin kecillah asa anak-anak Merseyside itu untuk merengkuh trofi European Cup keempatnya.
Beruntung, Liverpool punya Bruce Grobbelaar sebagai kiper. Dengan kaki-kaki spaghetti yang merusak konsentrasi para penendang Roma -- utamanya Bruno Conti dan Ciccio Graziani --, Grobbelaar sukses membawa Liverpool ke atas angin. Dari atas angin itu, Kennedy melesakkan tembakan pemungkas di babak itu untuk membawa Liverpool ke langit ketujuh.
Ketika menjadi penendang terakhir di Roma itu, usia Kennedy sudah hampir 32 tahun. Perlahan, tempatnya kemudian digantikan oleh Mark Lawrenson yang tiga tahun lebih muda. Sampai kemudian, Kennedy resmi meninggalkan Anfield pada 1986. Cedera membuat penampilannya anjlok dan ketika dia pindah ke Sunderland yang merupakan klub idola masa kecilnya, Kennedy pun menjadi pesakitan.
Setelah itu, Kennedy menjadi pengelana. Sampai pensiun di usia 39 tahun pada 1994, Kennedy memperkuat 11 klub berbeda, termasuk klub Denmark, Boldklubben 1903, dan klub Belgia, Beerschot. Sekuat apa pun Kennedy berupaya, dia tak pernah bisa mengembalikan masa jayanya seperti di Liverpool.
Tiga puluh tujuh tahun setelah tendangan Kennedy di Parc des Princes itu, orang-orang masih mengingat dirinya sebagai The Unlikely Lad; Pahlawan yang Tak Disangka. Mereka tidak salah. Siapa yang menduga Kennedy bisa menjadi pahlawan di final Liga Champions? Bahkan, Kennedy sendiri sampai sekarang masih bingung kenapa dulu Paisley sampai mau membelinya.
Akan tetapi, hitung-hitungan apa saja, prediksi senjelimet apa pun, semua akan tunduk di depan takdir. Kennedy adalah alasan mengapa Liverpool ditakdirkan menjadi juara European Cup 1981. Sesimpel itu.
លáž‘្ធផល​រូáž”ភាáž–​សម្រាáž”់ Final Liga Champions: Alan Kennedy








Berikut HOT PROMO yang Masih Berlaku, antara lain :

- Bonus Cashback Setiap Minggunya Hingga 15%
- Bonus Refferal 2.5% Seumur Hidup
- Bonus Rollingan Casino 0.8%





UNTUK PENDAFTARAN BISA DI ISI FORM DI BAWAH INI

No comments

Powered by Blogger.